Mengaji (Bagian Pertama)


Ketika kecil, saya dan keluarga menempati sebuah rumah dinas yang diberikan perusahaan dimana Bapak saya dulu bekerja. di sebuah pabrik yang tidak cukup besar di Bandung.
Dan rumah tersebut terletak di kawasan perkantoran, pabrik dan beberapa universitas.
Lumayan jauh dari rumah-rumah warga sehingga tetangga yang kami miliki hanya beberapa jumlahnya, dan tentu tetangga tersebut merupakan pegawai di pabrik yang sama dengan Bapak saya bekerja.
Karena rumah-rumah warga yang sedikit, di daerah tersebut tidak dibangun Masjid. untuk ke Masjid terdekat kami perlu menyeberang empat lajur jalan besar by pass (Soekarno-Hatta) kemudian jalan kaki lumayan jauh untuk menempuhnya.

Kondisi itu menjadi salah satu alasan besar untuk saya tidak pernah mengikuti kelas mengaji resmi seperti anak-anak seusia saya dulu pada umumnya.
Perkenalan pertama saya pada Al-Qur'an, adalah melalui Bapak saya. Dulu, setiap Sholat Maghrib usai, Bapak membuka "kelas" mengaji bagi kami (saya dan kakak perempuan).
Pada awalnya kami hanya mendengarkan Bapak melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an.
Selanjutnya kami mencoba mengeja (mengikuti) bacaan yang sudah dilafalkan Bapak.

Kelas kami kemudian naik tingkat, kami mulai serius belajar mengenai huruf-huruf hijaiyah (huruf Arab) dan bagaimana melafalkannya, tentu masih dengan bimbingan Bapak. meski Bapak bukan (atau belum) ahli seperti guru-guru mengaji di pondok atau masjid.
Kami belajar menggunakan Iqra, yang umum digunakan umat muslim di Indonesia untuk mempelajari dasar pemahaman huruf bahasa Arab.
Dengan sabar Bapak membimbing kami meniti lembar demi lembar buku Iqra.
Ketika kami salah atau lupa, kami diminta untuk mengulang pelajaran sebelumnya sampai benar.
Perjuangan yang begitu panjang untuk kami akhirnya dapat menyelesaikan Iqra enam dengan "cukup" baik.
Alhamdulillah.


Ilmu Tajwid sedikit demi sedikit saya dapatkan ketika duduk di bangku SMP dan dipertegas kembali ketika saya masuk SMA.
Dan dari dua periode besar itu, saya hanya bisa menangkap sedikit dari hukum tajwid yang ada.
Pendampingan menjadi salah satu alasan pentingnya.
Mata pelajaran Agama saya dulu di sekolah berlangsung hanya satu jam pada setiap pertemuan, dan pertemuan tersebut hanya terjadi satu kali seminggu.
Guru mata pelajaran Agama saya dulu -pun harus membimbing sekitar 30-40 siswa.
(Selain pula karena saya yang memang payah dalam mempelajari ilmju tajwid 😅)


Setelah lulus kuliah kemudian bekerja, upaya saya untuk membenahi bacaan Al Qur'an (hanya) dengan membeli sebuah mushaf yang lengkap dengan penanda tajwid, harakat dan teks latinnya, supaya bisa mengkoreksi bacaan saya yang kurang tepat.
Meski saya pribadi tahu, kurang baik belajar tanpa didampingi oleh seorang guru.



Hingga pada awal tahun lalu, seorang teman karib mengajak saya untuk mengikuti kelas Tahsin yang di adakan oleh Pusdiqu Al Lathiif.
Dulu saya tidak langsung meng-iyakan ajakan seorang teman itu.
Jiwa duniawi saya. Hehe. malah sibuk mempertanyakan hal-hal seputar kegiatan atau kelas mengaji tersebut.

Seperti,
apa itu Tahsin?
Mengapa saya perlu mempelajarinya?


Komentar

Posting Komentar