Resensi Novel Pulang - Leila S.Chudori

Novel "Pulang"

"We have Brains, We have our own minds, mengapa harus didikte"

 
Pengarang      : Leila S. Chudori
Penerbit        : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Halaman        : 464
Tahun Terbit : 2012
ISBN              : 978-979-91-0515-8


Tentang Leila S. Chudori

Lahir di Jakarta 12 Desember 1962, berprofesi sebagai wartawan majalah berita Tempo sejak 1989 - hingga kini.
Menempuh pendidikan di Lester B.Pearson College of the Pacific (United World Colleges), Victoria, Kanada dan studi Political Science dan Comparative Development Studies dari Universitas Trent, Kanada.
Penulis Buku "9  dari Nadira" dan "Malam Terakhir" 



Sinopsis

  • Dimas Suryo 

Novel Pulang berkisah mengenai kisah para "terduga" komunis yang kemudian mengalami pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi seperti pencabutan kewarganegaraan, termasuk pelecehan yang dialami korban maupun keluarga yang memiliki keterikatan dengan ideologi kiri, yang dikemas dalam sebuah cerita persahabatan, cinta dan pengkhianatan.

Mengambil latar Prancis dan Indonesia pada tahun 1965, 1968 dan 1998 dalam dua pembabakan tokoh utamanya, Dimas Suryo dan Lintang Utara (Anak dari pernikahannya dengan Vivienne Deveraux, mahasiswa Universitas Sorbonne yang dijumpai pada 1968 ketika Prancis juga tengah dirundung perubahan)

Meski tokoh utama dalam Novel (disini, Dimas Suryo), bersikap Netral dalam tendensi politik yang terjadi pada tahun 1965 sebelum meletus peristiwa G30s (yang belakangan di beri imbuhan -PKI).
Profesinya sebagai wartawan di Kantor Berita Nusantara (yang cenderung berafiliasi dengan Partai Komunis) membuat ia otomatis di cap sebagai anggota atau simpatisan partai.

"Mengapa kita harus bergabung dengan salah satu kelompok hanya untuk menunjukan sebuah keyakinan?, lagipula apakah mungkin keyakinan itu sesuatu yang tunggal?, apakah paham-paham itu harus di telan secara bulat tanpa ada keraguan?"
- Dimas Suryo

atau ketika ia berdiskusi dengan Amir, salah satu bagian dari Kantor Berita Nusantara yang bersikap untuk berada di "lajur kanan".

"Bang Amir bisa membuat saya berpikir soal spiritualisme tanpa harus identifikasi dengan organisasi agama, sesuatu yang lebih dalam dan mulia di dalam inti kemanusiaan. Ketika saya berbincang dengan dia lebih seperti dua manusia tanpa embel-embel warna, cap, partai, aliran atau atas nama kelompok"
- Dimas Suryo


Perjalanan dinasnya ke luar Indonesia sebagai delegasi jurnalis bersama dengan empat kawan lain di Berita Nusantara (Nugroho, Risjaf dan Tjai) pada Oktober 1965, menjadi kali terakhirnya melihat "wajah" Indonesia setelah pencabutan paspor oleh pemerintah transisi dalam "upaya lain" untuk mengubur hal yang terkait dengan PKI dan afiliasinya.

"Di usiaku yang masih terlalu muda, aku mengenal begitu banyak "kematian" hingga aku cepat jengkel pada mereka yang tak bisa menghargai hidup"
- Kenanga

Setelah keberangkatan itu dimulailah petualangan Dimas dkk, berpindah dari satu negara ke negara lain, sampai akhinya berlabuh di Paris untuk kemudian menetap dan mendirikan Restoran Tanah Air bersama empat pilar (Nugroho, Risjaf dan Tjai)
Sementara keluarga "kiri" lain di Indonesia harus rela diberi label E.T (eks tahanan politik) dan tidak dapat bekerja pada instansi-instansi "milik negara" dalam praktik Bersih Diri dan Bersih Lingkungan.


  • Lintang Utara

"Aku lahir di sebuah tanah asing, sebuah negeri bertubuh cantik dan harum bernama Prancis, tetapi menurut ayah, darahku berasal dari seberang benua Eropa, sebuah tanah yang mengirim aroma cengkih dan kesedihan yang sia-sia, sebuah tanah yang subur oleh begitu banyak tumbuh-tumbuhan, yang melahirkan aneka warna, bentuk dan keimanan, tetapi malah menghantam warganya hanya karena perbedaan pemikiran."
- Lintang

Lintang tumbuh dengan sebuah tanda tanya besar mengenai I.N.D.O.N.E.S.I.A, tempat ayahnya berasal. 
Indonesia yang ia kenal hanya berasal dari penuturan kisah empat pilar di restoran tanah air, atau dari sedikit buku-buku Indonesia yang bisa didapat.

Pada ujian akhir sinematografinya di Universitas Sorbonne, Monsieur Dupont (dosen pembimbing Lintang) memberikan tugas film dokumenter mengenai Indonesia.

Tu veux s'evader de l'historie?
kamu ingin lari dari sejarahmu?
- Monsieur Dupont

Sebuah tugas yang akhirnya mengantarkan Lintang ke Indonesia di tahun 1998, tahun keruntuhan orde lama, yang diwarnai dengan "kisruh" dan "kacau"
yang menjadi pembeda dengan pergolakan 1965, semua terasa jelas, antara pihak yang dituntut dan pihak yang menggugat. Antara Mahasiswa dengan Pemerintah.

"Siang ini, kami akan memberi penghormatan terakhir pada para mahasiswa yang tertembak kemarin. Suatu peristiwa yang semoga tak dilupakan oleh generasi masa kini."
- Segara Alam




Kelebihan & Kekurangan

  •  Kelebihan

Memandang satu bagian sejarah Indonesia dari kacamata yang lain, sudut pandang yang lain beserta dampaknya yang besar, diceritakan dengan runut dan detail karena pendalaman riset yang dilakukan, sehingga tidak hanya bergelar "fiksi" belaka. juga banyak terdapat referensi tokoh atau literatur klasik yang menambah wawasan bagi para pembacanya.

Dengan alur pengisahan cerita yang maju mundur dan menarik (seperti sebuah cerita dalam selembar kertas yang kemudian di robek menjadi potongan kecil dan dihamburkan, yang hendak membaca kemudian harus merangkainya. seperti sebuah puzzle)


  • Kekurangan

terdapat "cinta panas" dalam drama Surti-Dimas-Vivienne dan Nara-Lintang-Alam yang sedikit mengganjal untuk direferensikan kepada dedek-dedek remaja masa kini.

Komentar

  1. Suka sekali dengan buku ini kak. Bisa memberikan sudut pandang pada setiap korban tapol pada masa orba. Cocok buat bacaan anak muda. nic info

    BalasHapus

Posting Komentar