Prau,



Setelah hampir dua tahun tidak pernah naik gunung lagi, selain karena beberapa teman dekat naik gunung yang mulai sibuk dengan prioritas-prioritas barunya, saya-pun sepertinya sudah tidak seantusias dulu, yang kerjaannya searching melulu tentang gunung-gunung dengan view yang bagus, tentang destinasi alam yang harus saya datangi sebelum memasuki usia dua puluh lima, atau usia emas untuk..

Tetapi ketika saya memutuskan untuk meninggalkan pekerjaan yang telah menaungi saya selama tujuh tahun lamanya dengan maksud berpindah bekerja ditempat lain, di tempat asing baru dan akrab dengan teman-teman kerja baru yang pendahulu, saya menemukan kembali semangat itu. semangat untuk naik gunung -ce-i-le. hahaha.
 



Seorang teman, sang pencentus ide jalan-jalan untuk menghabiskan libur dipenghujung tahun 2017 ini mengajak kami untuk menggagahi keindahan puncak Prau dengan bentangan awan dan lanskap tiga gunungnya yang indah.
Dari beberapa ekor manusia, akhirnya hanya lima saja yang berangkat.

Sama dengan tragedi ketika lebaran haji, dua tahun yang lalu. Ketika hendak muncak Prau bersama Red (yang waktu itu masih jomblo), kami kehabisan tiket bus yang hanya bisa dibeli on the spot dari Bandung.
Dengan hitung-hitungan cepat ala anak akuntansi, dengan asumsi pengeluaran biaya yang sama besarnya dengan membeli tiket bus dan omprengan lanjutannya, akhirnya kami putuskan untuk meminjam sebuah kendaraan roda empat untuk kami ber-enam, -dengan seorang teman tambahan.



Sore, 30 Desember
Sampai di Basecamp Prau, Wonosobo.
Ketika awan hitam mulai sibuk memuntahkan air hujan yang menjalar semakin besar, kami memulai perjalanan.
Baru saja menapaki beberapa anak tangga buatan, teman termuda kami yang sedari malam sebelum keberangkatan sudah tidak enak badan, memutuskan untuk berhenti, karena kambuh asma-nya.

-di rumah Pak Santoso
Setelah makan malam dengan nasi setengah matang dan lauk mie-telur rasa kue-kue lebaran yang saya buat dengan sok²an. Dengan tanpa rasa berdosa-nya kami tinggalkan teman kami yang sakit tadi di Rumah Pak Santoso (warga yang berbaik hati sedia kami inapi rumahnya untuk sementara) untuk melihat sunrise di Puncak. hehehe. #Pis, dek!


Pada sepertiga malam awal kami sampai di Puncak, tenda kami dirikan paling depan di tepian bukit dengan maksud kamilah yang akan paling pertama melihat kuncup matahari mengembang dan mengkuningkan langit malam yang gelap.-tsah🌞
Baru beberapa belas menit bergulung di dalam kantung tidur, tenda kami rubuh karena tapal besi tenda yang tidak tertancap dalam, dan karena posisi kami yang paling pertama dihantam angin, juga karena-karena yang lain.



Matahari pagi yang dinantikan hanya muncul sekitar satu jam, kemudian menghilang terhalang dinginnya kabut Dieng..





Siangnya kami sampai lagi di Rumah Pak Santoso, yang ternyata sudah nyiapin kudapan makan siang untuk kami ber-enam. kudapan kumplit dengan ikan, dua macam olahan sayur dan aneka lauk-pauk lainya.
(Saya selalu takjub dengan hangatnya sambutan yang diberikan orang-orang di pedesaan ketika kedatangan seorang tamu)
 


yang kalah cuci piring






Komentar