Ngayogyakarta Hadiningrat (Lagi)


Semangat nJogja lagi..
Kali ini bukan untuk pulang kampung, juga bukan semata untuk transit dari Jawa Timuran.
Melainkan untuk ngikuti jejak-nya Mas Rangga yang stereotipe-nya sedikit nggilani. HAHA

Januari 26, Sore
Didalam rangkaian kereta api Kahuripan, Stasiun Kiara Condong.
Hal yang menarik, selain sempat rebutan kursi dan hampir mengusir penumpang lain dari singgasananya 🙈🙈 Di depan kami (saya&red) duduk dua orang bapak-bapak paruh baya yang mengajak kami mengobrol sampai dengan tengah malam.
Salah satu dari bapak tersebut merupakan pekerja di sebuah perusahaan kontruksi yang bertugas sebagai pembuka lahan yang akan digunakan sebagai Jalan Nasional/penghubung antar Provinsi dan berbagai infrastruktur yang berada di pelosok Indonesia.
beliau menceritakan banyak kisah mengenai perjalananya yang mendebarkan *tsah, seperti melewati ganasnya laut Arafuru yang pernah menenggelamkan longboat Tim Jejak Petualang pada 2006 sebelas tahun silam 😮😲😱 serta cerita₂ tentang bagaimana 'bedebah'nya usaha perkebunan sawit dan pertambangan ilegal di pedalaman Kalimantan.



Januari 27, Yogyakarta
Agenda kami hari ini adalah menuju Sumur Gumuling atau masjid bawah tanah di Taman sari dan menikmati matahari tenggelam di Candi Ratu Boko.
Untuk menuju ke Sumur Gumuling kami berjalan kaki selama lima belas menit dari areal tempat Kami menginap di Prawirotaman.


Sumur Gumuling
Sumur Gumuling tak berdasar air seperti definisi sumur pada umumnya, didalamnya terdapat lima tangga yang memiliki satu titik temu tepat ditengah-tengah bangunan sumur (Titik temu inilah yang digunakan sebagai mimbar para kyai di masa-nya untuk berdakwah), ujung anak tangganya yang lain menyatu dengan tembok tinggi yang mengelilinginya. Selain masjid, tempat ini juga dulunya difungsikan sebagai benteng pertahanan.



Ketika kami sampai di Pulau Cemeti, reruntuhan bagian dari keraton yang yang berada di sebelah utara Taman Sari. 
Kami bertemu dengan seorang Bapak pengelola Komplek Taman Sari dengan seragam batik dan blangkonnya yang khas. Pada awalnya beliau hanya memberi tahu kami mengenai spot-spot untuk mendapat hasil foto yang bagus dan kekinian, hingga akhirnya beliau sendiri yang menawarkan diri untuk menjadi fotografer kami, lengkap dengan pengarahan gaya-nya 😆😍



Pasar Ngasem

Dari Plaza Pasar Ngasem, atau jalur lain untuk memasuki area Taman Sari, kami kembali ke Penginapan dengan menggunakan becak jogja (tanpa atap) setelah perjanjian kami dengan salah satu penyewaan sepeda motor dibatalkan karena armada-nya yang akan disewakan tiba-tiba rusak. Dibantu Petugas Lobi penginapan kami mendapatkan sepeda motor yang bisa disewa selama dua hari.
Tempo Doeloe

Rute yang ditempuh dari Jogja menuju Candi Ratu Boko sama dengan rute ke Candi Prambanan, mengikuti plang penunjuk jalan arah ke Kota Solo.
Hanya untuk ke Ratu Boko kami harus melalui jalan desa dengan badan jalan yang tidak terlalu besar terlebih dahulu karena letaknya yang berada di antara pemukiman warga. berbeda dengan Candi Prambanan yang terletak di jalan raya besar.


Didalam areal Ratu Boko terdapat beberapa reruntuhan candi yang terpisah-pisah dan tersebar dalam kompleks yang sangat luas. 
Candi - Taman - Candi lagi - Taman Lagi - Candi lagi - Taman lagi, begitu terus sampai tua dengan Candi terakhir.




sayang, matahari senja yang ditunggu-tunggu terhalang mendung dan gerimis.
Hujan turun sampai kami kembali ke penginapan, bahkan sampai dengan tengah malam.



Januari 28
Sesuai dengan itenary yang kami buat, hari ini kami akan Ke Merapi di Ujung Utara dan Gumuk Pasir di Ujung Selatan Jogja.

Pagi-pagi sekali kami menuju lereng merapi, menjajal Lava Tour Merapi dengan Jeep.
Sedikit kecewa karena Jeep yang kami dapat sudah tua, dengan Kaca Depan yang sudah pecah dan hilang pada salah satu bagiannya.
 

Tapi pepatah membuktikan kesaktiannya, Don't Judge a Book by Its Cover, Jeep Army tua yang kami remehkan dengan sedikit kernyitan di dahi ini justru memiliki tenaga besar dan dengan mulusnya melewati setiap jeep bagus di trek terjal yang kami lalui.
ditambah dengan kecanggihan skill mengemudi si Mas -yang lupa kami tanyai namanya- yang patut diacungi Jempol.\m/

Selain diantar kesalah satu spot foto terbaik di Merapi yang tidak dilewati kebanyakan Jeep-jeep lain, kami pun diberi tambahan extra time dengan tidak menambah biaya sewa.  

Abaikan Model

Museum Sisa Hartaku

Sapi yang terkuliti

Penambangan Pasir dari Batu Alien

Di lereng Merapi, terdapat Edelweis yang tumbuh liar di pekarangan-pekarangan warga

Diakhir-akhir perjalanan, kami diajak "mandi" di sebuah kali jernih bekas aliran lahar gunung merapi dengan genangan air yang tidak terlalu dalam. Membahananya teriakan dua "wanita" ini sampai-sampai mengalihkan perhatian orang-orang disekitar kali 😁😳
pokoknya Gayeng! mengutip kata-kata teman saya yang jika diartikan adalah suatu bentuk keseruan yang teramat sangat.




---
Sebelum ke Gumuk Pasir kami sempatkan mampir terlebih dahulu untuk makan siang di Rumah Makan Bu Ageng milik seniman Butet Kartaredjasa yang terletak di Jalan Tirtodipuran.
Menu yang disajikan merupakan masakan-masakan rumahan khas Jawa Tengah & Jogja.
Satu menu yang tidak bisa saya lupakan adalah Bubur Durian Mlekoh yang disajikan hangat-hangat dengan beberapa potongan roti tawar.. pokok e Endessssss bingit dengan kelipatan akhiran "s" yang banyak 😁😁
 



Gumuk Pasir, Parang Kusumo.
Sesuai dengan namanya, gumuk pasir adalah bentangan pasir luas yang menurut Pakar Geologi, pasir tersebut berasal dari material Gunung Merapi yang dibawa aliran sungai kemudian bermuara di Pantai Parangtritis.
Pasir yang berbukit-bukit ini dapat digunakan para wisatawan untuk bermain Sandboarding dengan menggunakan papan yang sudah banyak disewakan.




Tak lupa kami mampir ke Parang Tritis yang terletak tak jauh dari Pantai Parang Kusumo untuk menikmati lanskap Sunset indah, pasir pantai, gulungan ombak, dan andong yang sibuk hilir mudik 😅




Alun-alun kidul adalah salah satu tempat yang tak pernah absen saya kunjungi ketika berada di jogja, disana saya menyimpan kenangan bersama becak hias (kenangan bersama becak?😂) atau yang sering saya sebut sebagai odong-odong.  
Tarif sewa dihitung berdasarkan seberapa banyak odong-odong yang kita kendarai mengitari alun-alun kidul dalam satu putaran. Jika pada umumnya macet membuat saya jengkel, disini, ketika mengendarai becak hias ini, macet membuat saya merasa sangat bahagia (lhoh?)😅



Tak berhenti sampai di Alkid, kami menghabiskan malam dengan duduk-duduk syantique bersama ratusan pengunjung lainya di tepian trotoar perempatan Tugu Jogja.
Juga menyempatkan diri mampir ke sebuah cafe yang menjadi saksi biksu pertemuan kembali Rangga dan Cinta yang letaknya hanya terpisah beberapa rumah dari tempat kami menginap 😂😂 (korban pilem)



Rangga, yang kamu lakukan kesaya itu Ja-had!

Januari 29
Sarapan gratis
Sebelum pulang, kami sempatkan untuk jalan-jalan ke Kota Gede yang terkenal dengan industri peraknya.



ini bapaknya lho yang minta foto
Kami mampir ke makam Raja-raja yang pernah berkuasa di Kota Jogja, namun hanya sampai pada gerbang utama.
Pengunjung yang hendak nyekar di pemakaman ini diwajibkan untuk mengenakan jarik/pakaian tradisional yang sudah disiapkan pihak pengelola, serta tidak diperkenankan membawa kamera/alat pengambil gambar lainnya.
karena kunjungan kami bukan untuk nyekar, dan rasanya tak rela untuk menanggalkan jilbab, akhirnya kami putuskan untuk hanya berfoto di pelataran Masjid Besar Mataram yang menjadi pintu masuk menuju areal pemakaman ini.






dari Kota Gede, kami kembali kepenginapan dan mengakhiri pejalanan ini.


Au Revoir!