Banyuwangi, Sunrise of Java


Perjalanan lintas empat provinsi, Jawa Barat, DI Yogyakata, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Dari sekian perjalanan yang pernah saya lakukan, baru pada perjalanan ini-lah saya menemukan esensi perjalanan yang sesungguhnya.
Bagaimana cara belajar mensyukuri nikmat yang diberikan tuhan atas berbagai kesempatan untuk dapat mengamini keindahan ciptaan-Nya, bagaimana untuk tidak memaksakan kehendak melingkari list-list destinasi tujuan yang sudah diagendakan, serta bagaimana menerima perbedaan dan belajar akan norma-norma kehidupan sosial yang tidak akan pernah saya dapat dari jenjang pendidikan mana pun.
Menulis jurnal-jurnal perjalanan selama ini sejatinya saya tujukan bukan untuk ajang pamer (#pameritukoentji), melainkan sebagai sebuah kenangan yang suatu saat mungkin akan saya rindukan dan baca kembali.

Dari Bandung ke Banyuwangi, ada dua rute kereta api yang bisa digunakan, yaitu menggunakan KA.Kahuripan dan KA.SriTanjung, atau menggunakan KA.Pasundan dan KA.Mutiara Timur.

Karena alasan waktu keberangkatan, pada akhirnya kami(saya&red) memilih menggunakan KA.Kahuripan (20:00 s/d 05:00), berhenti di Jogja untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Banyuwangi dengan KA.Sritanjung (07:15 s/d 21:00).






Mampir Surabaya untuk mundur lagi



Objek wisata yang kami kunjungi pada hari pertama berada di Kota Banyuwangi ini adalah Taman Nasional Baluran yang terletak di Banyuputih, Kabupaten Situbondo.
Sebuah Taman Nasional dengan panorama pohon-pohon bidara yang tersebar di padang savana luas dengan rerumputan yang menguning dibakar matahari. Lengkap dengan rusa, banteng, kerbau dan binatang-binatang khas savana lainnya yang semakin mengokohkan julukan Africa Van Java. 


Partner In Crime



Karena ingin melihat rusa dengan lebih dekat, kami yang berwajah innocent ini (HaHa) berjalan di tengah-tengah savana menuju sebuah pohon bidara dengan batang tubuh yang bengkok dengan ranting-ranting yang nyaris menyentuh tanah, serta terdapat kubangan air di bawah naungan dedaunan-nya untuk rusa dan kerbau minum. 
Belum saja sampai, dalam radius 20 meter rusa-rusa tersebut berhamburan menjauhi kami, seperti mendapat radar bahwa manusia-manusia jahat sedang mendekat.

Tak lama atas insiden ditinggal rusa, kami dibuat malu oleh kedatangan salah seorang pengurus TN.Baluran yang menegur atas perbuatan "sara" yang kami lakukan. 
"Mbaknya sedang apa disini, mbak telah berbuat sara. Tidak boleh memasuki area savana karena dikhawatirkan terdapat gangguan ular kobra berbisa, dan binatang melata lainya"
kami yang sedikit bingung dengan kata "sara" meminta maaf karena tidak membaca terlebih dahulu tata tertib pengunjung, dan sempat menggoda ranger tersebut untuk membonceng kami sampai keluar dari area savana..
#peacepak







Selepas kejadian sara, kami kembali untuk mengambil sepeda motor sewaan yang kami parkir dibawah sebuah pohon bidara mini didepan pemondokan. Pohon kecil yang dijadikan segerombol monyet lapar wadah untuk menakut-nakuti kami setelah tak menemukan apapun di dalam dasbor laci motor. Dengan bergelantungan kesana kemari sembari menggeram memperlihatkan taring gigi *rawr*, seolah itu adalah sebuah ejekan dan tanda kekuasaan. tak lupa mereka menghadiahi kami dengan menelurkan dua bongkah kotoran bulat di atas tempat duduk dan satu bongkah di kaca spion motor. ((dikirajamban))Hahaha
Satu pelajaran berharga untuk tidak memarkirkan kendaraan dibawah pohon, terlebih jika banyak terdapat monyet lapar.
 

Setelah upaya kilat bersih-bersih dibantu dengan kedatangan mobil pengunjung lainya yang mengalihkan perhatian si monyet. dengan segera kami mengeluarkan motor dari bawah pohon, mengendarainya sampai masuk semakin dalam kearah hutan hingga sampai di Pantai Bama.
Permukaan air laut yang naik ditambah sampah dedaunan di bibir pantai membuat kami sedikit malas untuk berlama-lama di Pantai Bama.



Pornografi
Usai Shalat Dzuhur yang kesiangan, kami meninggalkan TN.Baluran untuk melihat matahari tenggelam bernama senja (Ihir-) di Pantai Watu Dodol, terletak di antara rute pejalanan pulang ke penginapan, 5km dari Pelabuhan Katapang Banyuwangi.
Pantai yang membentang luas yang memisahkan daratan Jawa dan Bali, juga tempat kapal-kapal bermuatan besar melabuhkan jangkarnya.

Pantai Watu Dodol

Pukul duabelas malam kami berangkat menuju Kawah Ijen untuk mengejar fenomena alam dengan Api berwarna biru di dasar kawah yang hanya dapat dilihat hingga ketika fajar benderang bernama Blue Fire.

Beruntung kami bertemu dengan seorang guide di homestay tempat kami menginap. Guide yang belakangan kami ketahui bernama Rohman ini tengah akan mengantar seorang solotraveler pria asal Jogja yang memperkenalkan dirinya dengan nama Bowo. kemudian kami berempat menjadi satu tim.


Trekking selama dua jam akhirnya menghapus bayangan tempat parkir kendaraan dan tepian kawah yang berada pada ketinggian yang sejajar (Tangkuban Perahu:Mind).
Antrian panjang menuju dasar kawah untuk secara dekat melihat Blue Fire membuat Mas Rohman mengalihkan perhatian kami pada sebuah tempat di penghujung bukit, tempat terbaik untuk menyaksikan Golden Sunrise rasa Ijen.

Lihat garis pantai itu



Selain mendapati Sunrise cantik dan bule-bule tampan, kami juga disuguhi pemandangan tiga buah gunung kembar, dengan ngarai panjang di sisi-sisinya. Pemandangan yang nian indah-
setidaknya meskipun tidak berhasil berfoto dengan si Api Biru rinai kami pulang dengan gambar-gambar di bawah ini.








Sepulang dari Ijen, saya&red bertolak kekediaman Lek Sam, adik dari Ibu yang telah lama menetap di Desa Purwoharjo, Banyuwangi.
Pada saat pemerintah mencanangkan program transmigrasi sekitar tahun 70-an, beberapa adik Kakek dari Ibu pindah ke Banyuwangi, dan beberapa lainya ke Lampung.
Saya diajak berkeliling menemui saudara-saudara dekat di Banyuwangi, saudara yang wajahnya belum pernah saya lihat bahkan namanya pun begitu asing di telinga.
Meski ini adalah kunjungan pertama saya ke Banyuwangi, mereka menyambut saya dengan semanak (kata berbahasa jawa yang berarti akrab dan kekeluargaan), beberapa diantaranya bahkan mengantar kami berpelesir ria ke Alas Purwo dan Pulau Merah pada keesokan harinya, 11 orang pengantar dengan 6 buah sepeda motor.


Jarak dari Desa Purwoharjo yang masih berada dalam satu Kecamatan yang sama dengan Taman Nasional Alas Purwo kami tempuh dalam waktu satu setengah jam, dikarenakan jalan di area hutan yang berbatu dan berkubang lumpur.
Menurut cerita Ibu saya, jaman dahulu kala (*ala-ala Fairy Tales) konon Alas Purwo adalah hutan angker, Seseorang yang memasuki areal hutan tidak akan pernah bisa menemukan jalan pulang, ataupun jika bisa ia akan menjadi gila.



Tapi kini TN.Alas Purwo tak seangker sejarahnya. Karena  pada hari-hari agung tertentu dalam agama hindu atau dalam penanggalan jawa, jemaat asal pulau Bali dan Jawa berkumpul di sebuah pura di dalam hutan yang konon tertua di Pulau Jawa. dan tentu juga karena alasan beberapa destinasi wisata menarik di dalamnya yang mengundang perhatian para wisatawan.

Kami sempat mampir ke pendopo pura untuk berteduh, ketika awan hitam di langit memuntahkan air hujan yang menjalar semakin besar.
 

Pantai Plengkung yang merupakan destinasi wisata favorit bagi para pelancong mancanegara karena ombak besar yang "katanya" menyenangkan untuk berolahraga surfing, dijadikan tempat yang paling istimewa dan berjaya di Alas Purwo.
Untuk mencapainya saja diwajibkan menyewa sebuah mobil jeep tertutup bermuatan enam orang dengan tarif yang cukup lumayan bagi saya, untuk ladang usaha alasan keamanan dari serangan binatang liar disepanjang jalan di dalam hutan.

Sebagai gantinya kami beralih pada pantai-pantai yang masih memiliki garis pantai yang sama, bahkan berdekatan dengan Pantai Plengkung. Pantai Trianggulasi dan Pantai Pancur (hitung berapa kali saya melakukan pemborosan kata dengan menyebut kata "pantai" secara berulang #apeu).
Pantai Trianggulasi


Ketika di Pancur, saya teringat akan Pantai Banyu Tibo di Pacitan. Pantai ini juga memiliki aliran air yang berasal dari pegununungan dan bermuara langsung ke area lepas pantai, tetapi dalam ruang yang lebih kecil.

Pantai Pancur

Pantai Pancur
Kami juga menyempatkan diri untuk mengunjungi sebuah gua ditengah tebing bernama Gua Istana, mencapainya dengan jalan trekking sejauh 2KM di dalam hutan yang didominasi tanaman bambu.

Di dalam gua terdapat payung-payung besar lengkap dengan sesaji dan bebauan dupa yang menambah pengap udara di dalamya, gua Istana juga memiliki lorong-lorong kecil yang pada saat masa penjajahan, digunakan sebagai tempat persembunyian.


 



Dan entah mengapa kami (saya&red) selalu berurusan dengan binatang yang menurut Teori Evolusi Darwin adalah nenek moyang makhluk hidup superior bernama Manusia.
Ketika kami berjajar rapi di antara anak-anak tangga didepan gua untuk berfoto keluarga, salah satu pasangan kera mempertunjukan adegan pornoaksi dari dahan-dahan pepohonan tak jauh dari tempat kami berdiri, yang secara sukses membuat ledakan-ledakan tawa yang membahana
 
Gua Istana
Karena letak TN.Alas Purwo dan Pantai Pulau Merah yang berlawanan arah, kami putuskan untuk pulang terlebih dahulu untuk sembahyang dan bertukar pakaian.


Perjalanan satu jam menuju Pantai Pulau Merah yang terletak di Desa Sumber Agung, Pesanggaran Banyuwangi  terbayar tuntas oleh pesona keindahan dari pantai berombak besar dengan sebuah gunungan bukit yang berada di tepian lautnya. (Jika terdapat banyak gunungan bukit kembar dengan ukuran yang bervariasi, mungkin akan menyamai pemandangan di Raja Ampat (ngayal-)).

Pantai Pulau Merah
Sayangnya cahaya temaram berwarna kemerahan dari sinar matahari yang akan tenggelam tertutup awan hitam pekat.
 



Meski masih ingin berlama-lama disini seakan mengamini bahwa Banyuwangi adalah surga dunia. Dengan pantai, hutan dan gunung yang memesona. kami harus pulang-


Dihantarkan KA.Sritanjung (07:00 s/d 19:00) yang berangkat dari Stasiun Karang Asem, dengan stasiun pemberhentian terakhir Stasiun Lempuyangan. 

Stasiun Karang Asem


dan terdampar selama dua jam di Malioboro Jogja untuk menunggu Kereta Api selanjutnya yang akan mengantar kami kembali ke Bandung. Akhirnya kereta kami tiba di Stasiun Tugu Jogjakarta, KA Malabar (23:30 s/d 08:00) dengan gerbong-gerbong yang menunjukan tiga tingkatan kasta kelas pendapatan finansial para penumpangnya.
Kelas Eksekutif yang mahal, Kelas Bisnis yang menengah, dan Kelas Ekonomi yang merakyat.
Saya? Jelas saya merakyat.

Kami yang tak terpisahkan ini (halah) Pada akhirnya harus berada dalam rangkaian gerbong yang terpisah, karena untuk mendapatkan tiket kereta api pada momen arus balik lebaran adalah suatu keniscahyaan yang niscahya sulitnya.

Au Revoir...

Komentar