Menyoal pada minat yang sedikit curhat

Tempo hari salah seorang teman saya pernah berkata seketika setelah saya bercerita mengenai kisah Gerakan 30 September 1965 berbekal pengetahuan yang bersumber dari beberapa buku memoar dan film-film dokumenter.
“gilakah saya, jika saya masih saja masa bodoh terhadap sejarah di Indonesia ini karena tak berpengaruh secara langsung terhadap diri saya, bahkan setelah kamu menceritakan dan menjelaskan panjang lebar mengenai peristiwa itu sehingga saya bisa sampai di titik mengerti.”

Saya yang sok demokratis menjawab “Entahlah, saya rasa ini hanya soal minat.." *asik* 😂😂

Kakak perempuan saya-pun pernah mengatakan hal yang tidak jauh berbeda.
“mengapa banyak membeli dan mengkoleksi buku-buku mengenai sejarah? mengapa tak kamu beli saja buku-buku yang bersifat ke arah revolusioner.. pengetahuan untuk perkembangan masa depan.

Sejarah kan itu-itu saja, ia tak pernah berubah.”


Rasanya terlalu klise jika saya membalas pertanyaan sekaligus pernyataan ini dengan mengutip Top quotes The Founding Fathers-nya Indonesia, Presiden Indonesia pertama kita, Ir Soekarno :
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya.”

 



Ini soal minat.
Sejak kecil saya selalu antusias terhadap sejarah, terutama mengenai semua hal-hal yang berkaitan dengan sejarah kebangsaan.
Bahwa mata pelajaran sejarah merupakan mata pelajaran yang selalu saya tunggu-tunggu. (Padahal saya pun adalah idola guru fisika dan kimia dikelas *apeu 😅)


"Sejarah bukan hanya perihal tanggal-tanggal kejadian dan urutan tahun terjadinya suatu peristiwa sejarah. tetapi Sejarah mengenai semangat masa dan keadaan masa, atau hubungan kejadian dengan semangat masa. hubungan masalah satu dengan yang lain hingga peristiwa sejarah tersebut terjadi." - Mohammad Hatta



Saya sendiripun setidaknya juga pernah merasa heran, mengapa saya begitu mencintai hal-hal yang berbau ke dulu-duluan ini.
Lingkungan yang mengenalkan saya pada sejarah hanya lingkungan sekolah, atau oleh Guru Sejarah saya lebih tepatnya. bukan keluarga, pun juga bukan teman dan sahabat.

Teman teman saya rata-rata menikmati sebagai terdidik dari jurusan ekonomi akuntansi-sebagaimana mestinya pun saya-, sebagian lain dalam ilmu informatika, ilmu hukum, manajemen dll. Ilmu-ilmu lain yang saya pastikan tidak sama dengan ilmu kesejarahan. Bahkan ketika saya berbicara mengenai sejarah, mereka seolah menunjukan sikap yang antipati, sehingga saya seakan menjadi sosok manusia yang sok paling pratiotis di muka bumi #lebay #emang paling sok. HAHA




Tapi kemudian saya mengurungkan pendapat saya yang sedikit stereotip ini setelah saya bergabung dengan sebuah komunitas baca di Kota Bandung bernama Pecandu Buku, diprakarsai langsung oleh seorang musisi indie bernama Fiersa Besari.

Didalam komunitas tersebut terdapat ratusan anggota yang tersebar di berbagai kota di seluruh Indonesia, yang secara aktif terhubung dalam sebuah grup di dalam aplikasi chatting Line Messenger.

Meskipun saya tidak terlibat aktif dalam percakapan langsung didalamnya, tetapi terkadang saya juga banyak membaca sharing mengenai banyak hal dari berbagai perspektif itu.


Terdapat juga sebuah sesi tanya jawab bernama "kontemplasi" dengan tujuan untuk menggali pola pikir para anggotanya sekaligus sebagai latihan kepenulisan dalam bentuk opini diri, Jadi tidak menitik fokuskan terhadap bahasan mengenai buku melulu.

Disini sayapun akhirnya "bertemu" dengan banyak anggota komunitas yang memiliki minat yang sama persis dengan saya, baik dalam bahan bacaan, maupun dalam hal-hal lain pendukungnya.
Sebagian dari mereka mengoleksi buku-buku perjuangan lengkap dengan segala perpolitikanya, mengulas bahasan-bahasan yang berkaitan dengan hal-hal Sejarah, dan tentunya menambah pengetahuan baru saya berdasarkan uraian pendapat-pendapat yang ada. 


Bicara Soal musisi indie, meskipun Fiersa dengan komunitasnya lah yang membuat saya merasa "waras".
Tetapi Rara Sekar Larasati dan Ananda Badudu-lah yang tetap menjadi favorit saya dalam music per-indie-an, mereka tergabung dalam sebuah band bernama Banda Neira.

Selain menghasilkan lagu-lagu yang sangat ena' ditelinga, saya pun mengidolakan profil dari kedua personil band atau sebenarnya lebih pantas disebut duo ini.
Rara sekar dengan sisi humanisnya, dan Nanda dengan jurnal kepenulisanya


Rara sempat magang di Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) serta menjabat sebagai kakak Pembina Kurikulum di Sekolah Kita Rumpin.
Sedangkan Nanda yang merupakan cucu dari Guru Besar Bahasa Indonesia alm J.s Badudu kini menjadi pedagang berita di harian Tempo, memulai rekam jejak kepenulisannya dengan menjadi ketua Media Parahyangan (klub jurnalistik) yang populer akan ke"kiri"an-nya.


Selain itu, Saya menyukai penamaan Banda Neira. Sebuah kota yang menjadi tempat pengasingan atau lebih tepatnya sebagai tempat penahanan The Founding Fathers Indonesia yang kedua, tokoh bangsa yang profilnya menjadi inspirasi saya dalam memilih imam Pemimpin Negeri, Moh Hatta.



Sekian.

Komentar