Kota Tua, Jakarta



Agenda piknik dadakan ini bermula secara tidak disengaja, awalnya keberangkatan saya ke Jakarta hanya untuk memenuhi panggilan kerja di salah satu media jurnalistik di Jakarta, Kompas. 

Sedikit cerita di kantor yang terletak di Jl.Panjang, Kebon Jeruk ini..
Saya begitu bersemangat menceritakan minat dan ketertarikan saya terhadap dunia jurnalistik dan harapan saya yang dapat bekerja di salah satu media publisistik terbesar di indonesia ini, Padahal perusahaan mengundang saya untuk mengikuti proses recruitment sebagai orang pajak sesuai dengan background pendidikan saya, bukan sebagai tim pencari berita maupun tim-tim non keuangan lainya,hahaha… (untung nggak langsung diusir :p)  

Kembali pada inti cerita.
Karena saya pikir percuma jika ke Jakarta hanya untuk interview saja (seperti pengalaman sebelumnya), akhirnya saya putuskan untuk bertamasya ria di kawasan kota tua Jakarta setelahnya. “sambil menyelam minum jus sirsak pake nata de coco"
Sesampainya di Kota, Tour de Museum rasa Jakarta ini kami (bersama sahabat saya) petakan dengan rute Museum Bank Mandiri – Museum Bank Indonesia - Museum Wayang dan yang terakhir adalah Museum Fatahillah atau Museum Kesejarahan Jakarta yang semuanya berada dalam satu komplek kawasan Kota Tua Jakarta.



Museum Bank Mandiri
Museum yang terletak di Jl.Lapangan Stasiun No.1 ini awalnya digunakan pemerintah Hindia Belanda sebagai perusahaan dagang yang kemudian berkembang menjadi perusahaan perbankan, dan Pada tahun 1960 dinasionalisasi menjadi Bank Ekspor Impor Indonesia. krisis moneter pada akhir dekade 90-an berujung pada legal merger Bank Exim bersama dengan Bank Mandiri dan dua Bank pemerintah lainya.


Sebagian besar isi dari Museum Bank Mandiri ini didominasi oleh Diorama transaksi perbankan pada masa kolonial belanda, lengkap beserta  alat penunjang aktivitas perbankan lainnya seperti  mesin ATM tempo dulu, mesin fotocopy, mesin tik dan lain-lain.

Ditengah-tengah tangga menuju lantai dua pada bagian depan bangunan terdapat dinding kaca berwarna (stained glass) yang konon di datangkan langsung dari Netherlands. Awesome!
 
Saya sontak teringat pada salah satu film favorit saya "Soe Hok Gie" besutan Mirles-Riririza, ternyata latar gambar pada saat Gie kecil meminjam buku di perpustakaan adalah dimuseum ini, atau tepatnya di dekat tangga di lantai dua berlatarkan stained glass.
Film Soe Hok Gie

Ruangan favorit saya di Museum Bank Mandiri adalah ruang pada sayap kanan gedung di lantai satu, disana terdapat koleksi berbagai alat musik antik yang lengkap ditambah dengan interior gedung yang tetap mempertahankan unsur “ke-Belanda-anya”.




Patung-patung bertubuh belanda dalam diorama ditambah dengan lampu kristal redup yang menggantung dilangit-langit gedung menambah kesan "dingin" pada museum Bank Mandiri.


Museum Bank Indonesia
Tetangga dekat Museum Bank Mandiri ini terletak di Jl Pintu Besar Utara No.3 dan dibangun pada tahun 1828.
Gedung megah peninggalan pemerintah Hindia Belanda ini semula setelah di nasionalisasi digunakan sebagai kantor Bank Indonesia sampai dengan tahun 2005 dan hingga kini beralih fungsi menjadi museum.

Sebagai media informasi mengenai perbankan di Indonesia dan perjalananya dalam sejarah Bangsa, museum ini menyajikan informasi yang dikemas secara apik dalam tampilan audio visual dengan pemanfaatan berbagai perangkat teknologi modern canggih seperti panel statis dan televisi plasma ditambah dengan tata pencahayaan yang begitu variatif.







Di Museum Bank Indonesia kita tidak hanya mendapatkan informasi mengenai perkembangan berbagai jenis mata uang di Indonesia saja, namun juga banyak negara dari berbagai belahan dunia. Di museum dengan dua tingkatan lantai ini pun dilengkapi petunjuk-petunjuk arah yang jelas sehingga pengunjung tidak perlu khawatir akan tersesat ataupun melewatkan koleksi-koleksi berharga museum.




Ada kejadian aneh (atau mungkin lucu) yang teman saya alami pada saat kami melewati sebuah lorong bertema komunikasi, ketika saya asik berfoto ria, teman saya malah merasa melihat salah satu telepon kabel jadul (baca:Jaman dulu) dari sekian banyak telepon yang di susun dalam rak, bergetar sendiri.
Saya dengan entengnya menjawab “itu mungkin hanya halusinasi-mu saja, mungkin anda lelah..wkwk” kemudian pasang wajah stay cool dan semenjanjikan mungkin, padahal.. 😱😅


Museum Wayang
Berdasarkan lembaran informasi yang diberikan untuk para pengunjung Museum Wayang, Museum yang terletak di Jl Pintu Besar Utara No.27 ini dahulunya merupakan bangunan Gereja yang dibangun pada tahun 1640 dan hancur akibat gempa bumi, dari sisa-sisa reruntuhan gedung tersebut dibangunlah Museum Wayang yang mulai beroperasi pada akhir tahun 1939 hingga saat ini.

di dalam gedung yang masih menyimpan gurat-gurat (helah) Ke-Gereja-an-nya ini, pengunjung dapat menemukan berbagai koleksi wayang seperti Wayang Kulit, Wayang Kardus, Wayang Rumput dan berbagai jenis koleksi lainya dari berbagai daerah di Indonesia. Selain itu juga terdapat beberapa koleksi Boneka yang berasal dari benua Eropa dan Asia.



Dan yang menggembirakan adalah Wayang telah diakui UNESCO sebagai Warisan Dunia yang patut dilestarikan. \m/

Didalam area gedung juga terdapat sebuah makam seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Jan Pieterszoon Coen yang meninggal pada tahun 1634.
bersumber pada wikipedia, dahulu bagian dari bangunan pada gereja dengan nama Nieuw Hollandsche Kerk ini adalah sebuah komplek pemakaman. karena penuh, sebagian kuburan dipindahkan ke Museum Taman Prasasti Tanah Abang. 






Dan akhirnya sampailah kami pada sebuah museum yang menjadi ikon dari kota Tua Jakarta ini.

Museum Fatahillah (Museum Kesejarahan Jakarta)
Bangunan yang dahulu berfungsi sebagai Balai Kota Batavia VOC ini dibangun pada awal abad ke-17, terletak di Jl Pintu Besar Utara.

Pasca Indonesia Merdeka gedung berlantai dua ini dijadikan Markas Komando Militer Kota (KMK) dan baru pada 30 Maret 1974 kemudian diresmikan sebagai Museum Sejarah Jakarta.

Secara keseluruhan museum ini menyediakan informasi mengenai perjalanan panjang sejarah Kota Jakarta sejak masa prasejarah hingga masa kini.
Didalamnya terdapat beberapa koleksi replika prasasti peninggalan masa Tarumanegara & Padjajaran, Keramik, Gerabah, dan yang hampir selalu ada dan yang paling vokal dalam setiap ruangan museum adalah koleksi Mebeul Antik yang berasal dari Abad 17-19 .





Sambil menikmati nyiur melambai hembusan angin dan hangatnya senja di kota Jakarta ditemani sepeda antik yang banyak disewakan disekitar halaman Museum Fatahillah, yang ada dalam pikiran saya setelah berhasil menyusuri salah satu sudut vital kota Jakarta ini adalah… membayangkan bagaimana pongahnya bangsa belanda yang membangun seluruh infrastruktur ini duduk didalam kemegahan dan memimpin segala bentuk pemerintahan di Hindia Belanda (Indonesia)
Seperti berada dalam beberapa Novel dari berbagai angkatan terbitan Balai Pustaka yang alur ceritanya mengambil latar Jakarta Tempo Dulu Seperti “Salah Asuhan” karya Marah Rusli, dan “Layar Terkembang” karya St.Takdir Alisjahbana, serta gambaran ketamakan para penjajah (disini Nipon) pada Novel Favorit saya “Atheis” karya Achdiyat Kartamihardja dan Antalogi “Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma” milik Idrus. Dan lain-lain (kuk jadi bahas novel?)

 





Au Revoir!


Komentar