Balai Pustaka
Sastra tidak dibawa malaikat dari langit, sastra tidak
datang begitu saja. Ia lahir melalui proses pergulatan sastrawan dengan kondisi
sosial- budaya pada zamannya. Maka, membaca karya sastra hakikatnya adalah
membaca keadaan masyarakat dan budaya yang terungkap dalam karya itu.
Banyak aspek lain yang terkandung dalam sastra. Oleh karena
itu, membaca seri sastra adiluhung laksana memandang panorama kekayaan budaya
masa lalu kita. Ia dapat digunakan pula
sebagai cermin tentang perjalanan budaya dan pemikiran bangsa Indonesia.
Penulis : Idrus
Penerbit : Balai Pustaka - 1948
Pembabakan dalam antologi Dari Ave Maria ke Jalan lain ke
Roma dimulai sejak Zaman Jepang sampai sesudah 17 Agustus 1945. Dan merupakan
laporan aktual dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa itu, dituangkan
dalam karangan berupa dua belas cerita pendek.
Dimulai dengan sisipan cerpen romantis “Ave Maria” hingga
”Jalan lain keRoma”, setiap cerpen berisi mengenai keadaan pada masa pendudukan
jepang, selipan potret kemelaratan dan keterasingan rakyat Indonesia di
negerinya sendiri. Diungkap dengan sikap
skeptis, romantis dan realistis penulis, dengan penggunaan bahasa yang tidak
banyak menggunakan dialek melayu khas angkatan Balai Pustaka dan pendahulunya.
Penulis berhasil menumbuhkan nilai-nilai kehidupan (dalam
setiap karangan) pada masa Tenno Heika masih berkuasa di Indonesia (yang
menurut saya pribadi terdapat banyak kesamaan realita pada masa ini –masa
dimana saya mengulas novel ini).
*Idrus adalah pembaharu prosa, dan digolongkan sebagai
pelopor angkatan ’45.
Penulis : Merari Siregar (Saduran:
Justus Van Maurik 1918)
Penerbit
: Balai Pustaka – 1921
Kakak beradik Jamin & Johan ditimpa kemalangan sepeninggal
ibu kandungnya, mereka mendapatkan pengganti sosok ibu bernama Inem yang gemar
menghisap candu. Ayah mereka bernama Bertes, mantan prajurit yang kemudian
menjadi seorang buruh yang juga seorang pemabuk berat, karena mabuknya itu,
Bertes tak pernah menghiraukan Jamin & Johan.
Jamin si sulung dipaksa mengemis oleh inem, hal yang sangat memalukan bagi Jamin.
Tetapi agar tak terusir dari rumah dan berpisah dengan
adiknya si Johan, Jamin akhirnya mengemis dari pasar ke pasar sampai uang
terkumpul sebanyak yang diperintahkan Inem.
Suatu hari Jamin bertemu dengan pasangan suami istri
berdarah tionghoa bernama Kong Sui dan Nyonya Fi saat Jamin didapati tidur dipelataran
halaman rumah mereka.
Jamin diberi uang, makanan serta pakaian bekas bagus milik
anak lelaki-nya yang telah lama meninggal.
Sesampainya dirumah, Jamin mendapati sebuah cincin emas
dalam saku celana pemberian nyonya Fi.
Karena selalu teringat akan pesan ibunya yang telah
meninggal untuk selalu melakukan perbuatan yang baik, Jamin berencana mengembalikan
cincin itu kepada nyonya Fi.
Tetapi sayang, rencana itu gagal setelah inem berhasil
merebut cincin itu dari tangan Jamin saat Jamin sedang menunjukannya kepada
Johan didalam kamar mereka.
Didalam keputusasaan Jamin akan rasa bersalahnya terhadap Nyonya
Fi, ia tetap mengemis atas perintah ibu tirinya.
Suatu ketika Johan dengan tergesa-gesa menyusul abangnya ke
pasar, Johan membawa serta cincin emas milik Nyonya Fi yang ia ambil ketika
inem tidak ada dirumah.
Mereka lantas bergegas menuju rumah pasangan tionghoa itu,
tetapi malang.. Sebuah Trem dengan cepat melindas tubuh Jamin saat ia selangkah
lagi sampai…
Komentar
Posting Komentar