Kesenyapan Indonesia

Minggu ini menandai peringatan 50 tahun dimulainya pembantaian massal di Indonesia.
Para korban dituduh sebagai “komunis,” nama kolektif yang mencakup bukan hanya mereka yang resmi terdaftar sebagai anggota Partai Komunis Indonesia, tetapi juga semua yang dianggap menentang rezim militer Suharto—mulai dari anggota serikat buruh, aktivis gerakan perempuan, sampai guru dan etnis Tionghoa. Tidak seperti di Jerman, Rwanda, atau Kamboja, di Indonesia tidak pernah ada pengadilan, komisi kebenaran dan rekonsiliasi, tak ada monumen untuk mengenang korban.




Saya menghabiskan 12 tahun menyelidiki warisan mengerikan dari genosida Indonesia, membuat dua film dokumenter, “Jagal” (2012) dan “Senyap” (2014). Mulai di tahun 2003, saya bekerja sama dengan satu keluarga penyintas yang digambarkan dalam film Senyap. Kami ingin menunjukkan seperti apa rasanya hidup dalam kepungan orang-orang yang membunuh orang-orang terkasih sementara para pembunuh tersebut masih berkuasa sampai saat ini.
Keluarga ini mengumpulkan para penyintas lain untuk menyampaikan cerita mereka, tapi tentara memperingatkan mereka agar tidak berpartisipasi. Banyak penyintas mendesak saya agar tidak menyerah, dan menyarankan agar saya memfilmkan para pelaku dengan harapan mereka akan mengungkap pembantaian massal itu secara rinci.
Pada awalnya saya tak tahu apakah cukup aman bagi saya untuk mendekati para pembunuh itu, tetapi ketika saya lakukan, ternyata mereka cukup terbuka. Mereka menyampaikan cerita mengerikan mengenai pembunuhan itu dengan penuh kesombongan, seringkali diiringi senyum di wajah mereka, dan hal itu dilakukannya di hadapan cucu mereka. Saya merasa seperti sedang mengembara di Jerman 40 tahun sesudah Holocaust dan terkejut melihat Nazi masih berkuasa.
Hari ini, bekas tahanan politik di Indonesia masih menghadapi diskriminasi dan ancaman. Pertemuan penyintas lanjut usia biasanya diserang preman yang dilindungi aparat keamanan. Anak-anak sekolah Indonesia masih diajari bahwa “pemberantasan komunis” adalah suatu hal yang heroik, dan bahwa keluarga korban harus terus diawasi karena ketidaksetiaan mereka. Sejarah resmi ini, pada akhirnya, melegitimasi kekerasan terhadap seluruh lapisan masyarakat.
Tujuan intimidasi seperti ini adalah untuk menciptakan suasana ketakutan sehingga korupsi dan penjarahan tak mendapatkan perlawanan berarti. Tak terhindarkan, dalam suasana seperti ini, pelanggaran hak azasi manusia terus berlanjut sejak 1965, termasuk pendudukan Timor Leste 1975-1999, ketika kelaparan yang disengaja membunuh hampir sepertiga penduduk, dan juga penyiksaan serta pembunuhan ekstrajudisial yang terus berlangsung di Papua hari ini.
Kekuasaan militer di Indonesia secara resmi berakhir pada 1998, tapi sampai hari ini tentara masih berada di atas hukum. Jika seorang jenderal memerintahkan agar penduduk seluruh desa dibantai, ia tidak bisa diadili dalam peradilan umum. Satu-satunya cara agar ia bisa diadili di Indonesia hanyalah jika tentara sendiri menyelenggarakan pengadilan militer, atau jika parlemen memandatkan pengadilan HAM ad-hoc—sesuatu yang tak pernah dilakukan dengan adil dan efektif .
Ketika militer tidak tunduk pada hukum, sebuah negara bayang-bayang yang dipenuhi paramiliter dan badan-badan intelijen hadir di sekitar tubuh angkatan bersenjata. Negara bayang-bayang ini terus-menerus mengintimidasi publik agar membisu sambil, bersama mitra bisnisnya, menjarah kekayaan nasional Indonesia.
Indonesia bisa menyelenggarakan pemilu secara rutin, tapi jika hukum tidak diterapkan pada mereka yang berkuasa, maka di Indonesia tidak ada “rule of law,” dan tak ada demokrasi yang sesungguhnya. Negeri ini tidak akan menjadi negara demokrasi sejati sampai Indonesia mengambil langkah serius untuk mengakhiri impunitas. Sebuah awal yang sangat diperlukan adalah proses pengungkapan kebenaran, rekonsiliasi, dan penegakan keadilan.
Hal ini masih mungkin. Media di Indonesia, yang dulunya enggan membicarakan genosida 1965, kini menyebut pembunuhan massal tersebut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, dan gerakan akar rumput telah terbentuk. Presiden saat ini, Joko Widodo, memberi isyarat bahwa ia akan menyelesaikan masalah pembantaian massal 1965, tetapi ia belum membentuk komisi kebenaran, menyampaikan permintaan maaf negara, atau mengambil langkah lain untuk mengakhiri impunitas yang dinikmati militer.
Kita juga memerlukan pengungkapan kebenaran dan akuntabilitas dari Amerika Serikat. Keterlibatan Amerika Serikat setidaknya dimulai sejak pertemuan pejabat AS dan Inggris pada bulan April 1962 yang memutuskan untuk “menghancurkan” Presiden Sukarno, bapak bangsa Indonesia yang populis (tapi bukan seorang komunis). Sebagai pendiri Gerakan Non-Blok, Sukarno lebih menyukai kebijakan sosialis; Washington ingin menggantikannya dengan seseorang yang sejalan dengan kepentingan strategis dan perdagangan negara-negara Barat.


Peringatan 50 tahun ini selayaknya menjadi pengingat bahwa sekalipun kita ingin meneruskan hidup, sekalipun tak ada yang bisa membangkitkan kembali mereka yang telah mati, dan tak ada yang bisa mengembalikan keutuhan apa yang telah dirusak, kita harus berhenti, memberi penghormatan pada kehidupan yang telah dihancurkan, mengakui peran kita dalam penghancuran ini, dan membuka pintu bagi dimulainya proses penyembuhan.

Oleh : Joshua Oppenheimer as Pembuat Film Dokumenter.

Komentar