Biografi Bapak (Kenali dulu bapaknya)



Bapak terlahir dari sebuah keluarga sederhana di sebuah kampung tempat beliau tinggal dahulu.
Bapak memiliki sepasang kakak dan adik laki-laki bernama Suparman, dan Suwono.
Pakde Man aku memanggilnya, anak pertama dari keluarga bapak. menurut cerita bapak di masa itu, pakde merupakan kakak yang badung, beliau sering sekali bolos dan membuat ulah di sekolahnya, sehingga pada saat STM(SMK) terhitung pakde sudah beberapa kali di keluarkan dari sekolah.
Adiknya, aku panggil dengan sebutan Lek, di usia muda ia telah memperistri seorang kembang desa, kemudian tak ada lagi kisah tentang nya yang bapak ceritakan.
Bapak bernama lengkap Suwandi, terlahir dari seorang rahim ibu bernama Syariah dan seorang ayah bernama Mardiwiyono (simbah Rama) pada 13 Mei 1956 di Kulon Progo, Yogyakarta. Bapak seorang penyuka buah durian, penyuka klub sepakbola Arsenal asal inggris, juga Real Madrid asal Spanyol.. Bapak mencintai lagu-lagu yang berasal dari grup musik legendaris Koes Plus dan menjadikan sosok Murry sebagai tokoh idola yang berjaya pada era-nya dahulu. Bapak juga perokok aktif sejak ia duduk di bangku ST(SMP).
Bapak seorang yang sangat taat beragama dan tak pernah meninggalkan ibadah shalatnya, Bapak mahir soal Listrik dan bangunan. Yang menjadi kelemahan bapak karena beliau sosok yang sedikit sulit mempercayai orang.


Bapak kecil bersekolah di Sekolah Dasar Negeri Ngaglik, Wilayah Ipda Pengasih Kulon progo, masa pendidikan selama 6 tahun membuat bapak lulus pada 31 Desember 1971 dengan nilai ujian Bahasa Indonesia 7, Matematika 5 dan pengetahuan umum 9.
Menginjak remaja bapak yang telah mandiri mendaftarkan sendiri dirinya di Sekolah Teknik Negeri II Wates, Kulon Progo. Bapak mengambil jurusan Bangunan Air dan lulus pada 07 Desember 1974 sebagai Juara Umum di sekolahnya. Masa SMP, bapak pernah mengalami kecelakaan yang mengakibatkan beberapa dari teman bapak meninggal dunia, rombongan sepeda bapak yang bersiap untuk berangkat ke sekolah dihantam bus dari arah berlawanan, bapak terlempar ke selokan pinggir jalan dan beberapa temanya terlindas bus dan meninggal di tempat. Bapak juga sudah mulai mengenal wanita dan berpacaran di usia remaja.

Bapak kemudian melanjutkan pendidikannya di STM Marsudi Luhur III di Wates,Kulon Progo dengan jurusan Bangunan Gedung.
ketika bapak STM, Pakde Man memutuskan untuk mendaftar sebagai TNI di Semarang. Beberapa kali mengikuti tes beliau selalu gagal, karena keputusasan akhirnya Pakde selalu menyerang siapapun yang mendekatinya tak terkecuali Simbah Rama. Sempat sembuh, pakde malah meminta sebuah sepeda motor, benda yang dianggap sangat mewah pada saat itu, Simbah juga mewujudkan keinginan beliau untuk memelihara seekor anjing, yang dilempari dengan batu sampai mati oleh bapak.
Rumah Sakit satu ke rumah sakit lain, beliau tak kunjung sembuh dan malah semakin menjadi.

Harta keluarga Bapak terus terkuras untuk upaya penyembuhan dan kerugian atas ulah yang pakde perbuat, berikut dengan sapi milik Bapak yang beliau beli dari pemberian orang-orang ketika beliau di sunat dulu.
Keuangan keluarga yang semakin memburuk memaksa Bapak untuk berhenti bersekolah pada pertengahan tahun di tingkatan terakhir sekolahnya. Hal yang sangat disesali oleh Bapak, tetapi beliau tak berputus asa, waktu nya untuk bersekolah dulu Bapak gunakan untuk pergi ke ladang dan berjualan di pasar.
Empat bulan Bapak hilir mudik areal pesawahan untuk membeli ladang yang berisi penuh dengan hasil bumi dari petani, yang kemudian Bapak jual kembali ke tengkulak dengan beberapa persen keuntungan masuk dalam sakunya.

Suatu hari Bapak pergi sekolah dengan niatan untuk mengambil berkas ijazah ST-nya.
Tetapi Beliau malah di tahan di ruangan kepala sekolah, beliau tak diizinkan untuk berhenti. Bapak kemudian diberi uang saku senilai lima ribu rupiah oleh Pak Soeroso, Kepala Sekolah Bapak. “uang ini untuk kamu bercukur rambut dan membeli peralatan sekolah. rambutmu sudah gondrong, tak pantaslah anak pria berambut panjang masuk sekolah”

Guru-guru yang menjadi pendidik Bapak merasa berkeberatan karena Bapak telah meninggalkan bangku sekolah terlalu lama, banyak mata pelajaran yang telah Bapak lewati dan sebentar lagi ujian nasional.
 “Dia tanggung jawab saya” timpal Pak Soeroso bijak.
Bapak mengejar ketertinggalan dengan memulai Praktek Kerja Lapangan untuk menganalisa struktur bangun rumah sakit PKU Muhamadiyah Yogyakarta yang sedang dalam masa pembangunan, kemudian tugas gambar yang harus bapak tumpuk dengan menyalin gambar milik beberapa teman-temannya.
Tiba hari dimana ujian nasional berlangsung, dengan segala ketersusahan yang Bapak alami, Bapak dinyatakan lulus. Wates, 7 Desember 1977 menjadi hari kemerdekaan bapak.
Terimakasih jasamu Pak Soeroso,R BE.

Penjualan hasil ladang, Bapak pergunakan untuk merantau ke kota Bandung, sama seperti halnya Pakde, Bapak mendaftar menjadi ABRI. sebelumnya Bapak pernah ditawari menjadi guru di Kalimantan, tetapi Bapak enggan, karena Bapak bersih keras untuk memilih menjadi abdi negara yang sudah menjadi cita-cita beliau sedari kecil.
Bapak menginap di salah satu rumah saudara yang terlebih dahulu menjadi Tentara di Bandung. Bapak mengikuti beberapa tes selama beberapa tahap dan dinyatakan lolos, Bapak kemudian menggadaikan sertifikat sawah sebagai jaminan untuk melunasi administrasi. Tetapi entah mengapa ABRI juga bukan merupakan rejeki Bapak.

Tetapi Bapak tak lantas berkecil hati, Bapak kemudian kembali ke kampung dan merantau ke Jakarta. di Jakarta Bapak ikut serta memprakarsai pembangunan TMII.
Bapak kemudian tinggal di Menteng Atas RT 08/10. di Menteng Bapak pernah menjuarai lomba lari maraton sebagai juara pertama, di peringatan Hari Proklamasi RI pada tanggal 28 Agustus 1982.

Sewaktu pulang kampung Bapak bertemu kembali dengan Ibu, anak ingusan kampung sebelah yang dulu sering mengolok-olok bapak saat sedang berpacaran dengan kekasihnya. Entah seperti apa awal kisah cerita bersejarah itu, beliau tak pernah bercerita secara rinci tentang pertemuan kembali Bapak dengan Ibu, yang pasti beliau jatuh hati pada Ibu sejak pertemuan mereka kembali itu.
Bapak Meminang Ibu pada hari senin legi tanggal 27- April 1404 H atau 30 Januari 1984 pukul sepuluh pagi. Pertemuan sederhana itu menjadikan Ibu kekasih terakhir Bapak, Bapak dan Ibu  dikaruniai anak perempuan pertamanya pada September 1985 di Kulon Progo.

Bapak yang tak kunjung mendapat pekerjaan juga di Jogja, kota yang minim perindustrian, kembali memutuskan untuk merantau di Jakarta, Bapak  diberikan rumah dinas atas pembangunan gedung bioskop yang beliau tangani dulu untuk dapat di tinggali  bersama, tetapi Ibu tak bersedia. Beberapa tahun kemudian Bapak putuskan untuk memilih merantau ke kota Bandung dengan membawa serta ibu dan kakak perempuan kami.
 
Bapak bekerja di perusahaan swasta kecil dengan status Perseroan Terbatas dengan karyawan tak lebih dari dua puluh orang, yang mengolah besi yang sebagian besar produksi nya untuk memenuhi kebutuhan perusahaan milik Pak Bakrie. Beliau menjadi personalia dan menempati rumah dinas yang diberikan oleh perusahaan,  beliau bekerja untuk menangani sejumlah pesanan pelanggan dan perhitunganya, beliau juga bertugas dibagian produksi, beliau juga yang menghitung gaji karyawan. Beliau melakoni semua peranan penting perusahaan.

Anak perempuan kedua Bapak lahir pada Juli 1989 dimasa kejayaan bapak bekerja.
Bapak mendapatkan gaji yang sangat berlebih yang setimpal dengan apa yang di kerjakan, hal itu menyulut pertengkaran antara beliau dan rekan-rekan kerjanya terdahulu.
Bapak yang mulai bosan, memilih untuk mundur dari jabatannya.

Setelah tiga tahun, aku lahir.
Beliau resmi menyandang status sebagai Ayah Dari 3 orang anak perempuan.
Karena sangat menginginkan lahirnya anak laki-laki di dalam keluarganya, Bapak Sempat beberapa bulan tak mengakui kelahiran anak keduanya, karena saat di USG bayi yang dikandung Ibu berjenis kelamin laki-laki, Bapak yang tak terima ketika terlahir bayi perempuan sempat meributkan hal ini dengan pihak rumah sakit dan enggan untuk pulang ke rumah..



Bersambung..

Komentar